Seminggu tinggal di Kuningan serasa lama sekali , seisi rumah pada sakit. Kita akhirnya dengan sebuah truk pindah ke Kemayoran,kita duduk dibelakang truk bercampur dengan barang-barang seadanya yang kita punya.
Kita pindah di Jln Jembatan Haji Ung tidak jauh dengan Masjid Jamik, di rumah ibunya mba Atun, aku memanggilnya mba Atun, dia seorang wanita muda berambut panjang lurus dengan raut muka manis dan badan tidak gemuk. Mba Atun nama yang sama dengan nama ibuku jadi gampang mengingatnya.
Mba Atun punya saudara semua perempuan, mba Yati,mba Ani,mba Ndari serta yang bungsu Pinah. aku selalu bermain dengan Pinah karena seumuran denganku tapi kelihatannya lebih tua setahun dariku.
Rumahnya terbuat dari dinding bambu beratap alang-alang serta banyak kamar, dua kamar belakang sebelah kiri disewakan sama orang sunda,dua kamar belakang disebelah kanan disewakan dan satu kamar disewakan sama kita. Jadi kita tinggal dikamar samping dengan jalan disampingnya untuk kita lalui sebab disitu ada rumah tetangga satu rumah yang disewakan juga.
Sementara rumah sebelah lebih bagus dari rumah yang kita sewa.
Dengan kepindahan kita otomatis sekolah kita juga pindah, kalau tidak salah aku pindah pas kelas mau kelas tiga SD dari SD Negeri pindah ke SD Muhammadiyah 45 Kemayoran. Disini kehidupan kita lebih susah dari sebelumnya.
Kita menyewa ruangan/kamar ukuran 4x4 m dngan berlantaikan tanah,dinding pagar bambu,atap alang-alang. Dalam ruangan terdiri dua tempat tidur kecil, satu tempat tidur kecil untuk bapak dan ibu dan dipisahkan hordeng . Satu lagi bale-bale kecil tanpa kasur serta dua buah kursi sofa kecil yang sudah usang dan sebuah meja kecil, kompor,rak piring kecil terbuat dari kayu serta kompor minyak tanah satu buah. diluar ada bale kecil terbuat dari kayu ukuran kira-kira satu meter lebih,ketika malam hari bale dimasukkan kedalam dan kursi sofa kecil dikeluarkan maka jadilah untuk didalam bale kecil menjadi bale agak besar penyambung kaki ketika kita tidur untuk empat orang,emak,aku,masku,adik laki-lakiku sedang adikku yg masih kecil tidur dengan kedua orang tuaku. Ditengah kehidupan yang serba susah kita jalani dengan tabah dan barang tentu kita tetap menjalani sholat lima waktu.
Aku kurang tahu pasti perkerjaan bapakku pada waktu itu yang aku tau pasti kita bisa makan dengan ala kadarnya walau kadang pas kita enak-enaknya makan nasi sudah habis dan bayar sekolah yang selalu nunggak karena ketidak mampuan kita untuk membayar. Aku acungkan jempol dengan kedua orang tuaku walau susah dia tetap menyekolahkan anak-anaknya. tidak mudah menyekolahkan dua anak.
Aku lupa menceritakan kita mandi di kamar mandi,toilet,sumur dan untuk mencuci belakang rumah bersama-sama dengan yang lainnya jadi kadang kita antri untuk mandi maupun untuk menimba air dari sumur.
Kemayoran tidak jauh dari laut sehingga kita untuk minum dan masak harus beli dari tetangga yang punya PAM atau beli dari tukang jual air yang lewat pakai gerobak pakai derigen dari seng tapi lebih mahal sedikit.
Disekitarku yang punya PAM tante Mardio tapi kadang kita harus ngantri untuk membelinya sebab kadang PAM airnya kecil keluarnya.
Tante Mardio termasuk salah satu tetangga yang kaya disekitar kita,dia dan suaminya orang jawa Tengah kalau enggak salah dari Kudus.
Tante Mardio tidak punya anak,sehingga mengadopsi anak dari tetangga sebelah nama anaknya Titi. Titi teman akrabku dia berkulit hitam manis dan berhidung mancung serta bermata bulat sangat menarik .
Rumah tante Mardio besar,panjang dan terbuat dari dinding semen,dibagian balakang bertingkat dan dibelakang akhirnya dibuat untuk ruang percetakan dengan beberapa karyawan setelah keponakankan tante yang bernama om Edy tinggal bersamanya.
Kemayoran th 2018